Jurnal1jambi.com,- Kendari – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas Presiden Prabowo Subianto sejatinya lahir dari niat mulia: memastikan generasi muda Indonesia mendapatkan asupan gizi cukup untuk tumbuh sehat, cerdas, dan berdaya saing. Namun, realitas di lapangan menunjukkan ironi. Sejak diterapkan pada Januari 2025, program ini justru menuai masalah serius yang merenggut kesehatan ribuan siswa.
Data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) per 21 September 2025 mencatat sedikitnya 6.452 siswa di berbagai daerah menjadi korban konsumsi MBG. Laporan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) bahkan menegaskan kasus ini tersebar di 17 provinsi dengan 5.626 korban. Sementara pemerintah melalui KSP, Kemenkes, dan BPOM mengakui angka keracunan sudah melampaui 5.000 siswa. Fakta ini bukan sekadar angka, melainkan alarm darurat tentang nyawa anak-anak bangsa.
Kasus serupa juga terjadi di Sulawesi Tenggara. Di SMKN 1 Konawe, 11 siswa dilarikan ke rumah sakit setelah mengalami gejala keracunan. Di Kolaka Timur, puluhan siswa mengalami kondisi yang sama. Rentetan kejadian ini menegaskan adanya kegagalan sistemik, mulai dari rantai pasok bahan baku, proses pengolahan, distribusi, hingga lemahnya pengawasan mutu.

Menanggapi hal tersebut, Presiden BEM Universitas Muhammadiyah Kendari (UMK), Ruslan, menyuarakan keprihatinan mendalam. Ia menegaskan bahwa tujuan MBG bukanlah menambah derita, melainkan melindungi tumbuh kembang generasi muda. “Keracunan massal yang terus berulang bukan kesalahan kecil, melainkan bukti kegagalan sistemik. Saya mendesak Presiden Prabowo Subianto membentuk tim investigasi nasional yang independen dan profesional,” tegas Ruslan, Minggu (28/09/2025).
Lebih jauh, Ruslan juga menuntut kepolisian bergerak cepat. “Kapolda Sulawesi Tenggara harus mengusut tuntas dugaan kelalaian atau penyalahgunaan dalam pelaksanaan MBG di Sultra. Jika terbukti, pihak yang bertanggung jawab wajib diproses hukum hingga jerat pidana,” tambahnya. Baginya, program ini tidak boleh dibiarkan sekadar jargon politik atau proyek seremonial.
Ia juga menekankan perlunya pengawasan ketat dari seluruh pihak terkait. Keselamatan anak-anak Indonesia, katanya, harus menjadi prioritas mutlak. Tanpa langkah konkret, program MBG hanya akan menjadi catatan kelam dalam sejarah pelayanan publik.
“MBG hanya akan benar-benar bermakna jika dijalankan dengan penuh tanggung jawab, transparansi, dan akuntabilitas. Jika tidak, program yang diharapkan menjadi kebanggaan nasional justru berpotensi menjadi bencana kesehatan,” tutup Ruslan dengan nada kritis. (Rls)