Jurnal1jambi.com,— JAMBI – Aksi damai jurnalis di Mapolda Jambi, Rabu (17/9/2025), bukan sekadar unjuk rasa. Ia adalah alarm keras: kebebasan pers di negeri ini tengah diuji. Tiga wartawan dari media nasional dan lokal dihalangi saat meliput kunjungan Komisi III DPR RI di Mapolda Jambi, Jumat (12/9/2025). Peristiwa ini jelas menabrak Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999—konstitusi kecil yang mestinya dilindungi, bukan dipermainkan.

Simbol perlawanan terpampang nyata. Pakaian hitam, mulut dilakban, langkah tegas di depan markas polisi. Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Pewarta Foto Indonesia (PFI), hingga The Society of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ), turun satu barisan. Mereka bukan hanya membela tiga rekan: Dimas (Detik.com), Aryo (Kompas.com), dan Rudiansyah (Jambi TV). Mereka sedang mempertaruhkan harga diri profesi sekaligus marwah demokrasi.

Empat tuntutan mereka sederhana, tapi keras. Polisi yang menghalangi liputan harus diproses hukum. Kapolda Jambi wajib meminta maaf terbuka. Komisi III DPR RI yang hadir saat itu juga mesti mengakui kesalahan. Dan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) diminta memeriksa rombongan DPR yang membiarkan pelanggaran terjadi di depan mata. Bukankah tugas wakil rakyat melindungi hak rakyat, bukan ikut diam saat ia diinjak?

Undang-Undang Pers sudah sangat jelas. Pasal 4 ayat (3) memberi hak kepada pers untuk mencari dan menyebarkan informasi. Pasal 18 ayat (1) bahkan mengancam pidana bagi siapa pun yang menghalangi kerja wartawan. Jadi apa lagi yang mau diperdebatkan? Ini bukan sekadar pelanggaran etik, tapi potensi tindak pidana. Polisi, sebagai aparat penegak hukum, justru seharusnya jadi garda terdepan memastikan hal ini ditegakkan, bukan pelaku yang melanggarnya.

Lebih ironis lagi, Mabes Polri pernah menyebut media sebagai mitra strategis. Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko bahkan menekankan bahwa wartawan harus dilindungi. Tapi di Jambi, instruksi itu seolah menguap di udara. Yang tampak justru polisi menghalangi kamera, bukan mengawal demokrasi. Kontradiksi ini membuat publik bertanya apakah Polri konsisten dengan komitmennya, atau hanya piawai beretorika?

Aksi damai wartawan di Jambi adalah pengingat bahwa demokrasi bukan barang murah. Kebebasan pers bukan hadiah, tapi hak yang dijamin konstitusi. Menghalangi liputan wartawan sama saja dengan membungkam suara publik. Jika hal ini dibiarkan, kita tidak hanya kehilangan berita, tapi juga kehilangan ruang untuk mengoreksi kekuasaan.

Para jurnalis berikrar tidak akan berhenti. Mereka akan mengawal kasus ini sampai ada langkah hukum nyata. Mereka menolak intimidasi, menolak kompromi, menolak pembungkaman. Reformasi internal Polri bukan sekadar wacana, tapi kebutuhan mendesak. Sebab sekali demokrasi dibungkam, yang lahir bukan lagi negara hukum, melainkan negara takut dan itu bukan Indonesia yang kita cita-citakan.

share this :