Jurnal1Jambi.com,- Jambi – 2/7/2025 – Di tengah sunyinya keadilan yang sering tumpul ke atas dan tajam ke bawah, muncul satu titik terang dari lorong panjang ketidakpastian hukum. Hartati, seorang penjual es tebu di Kota Jambi, berhasil menang melawan gugatan seorang yang diduga bagian dari jaringan mafia tanah, Sudiwan Dinarya. Dalam putusan Pengadilan Negeri Jambi dengan nomor 171/Pdt.G/2024/PN Jmb, gugatan yang dilayangkan terhadap Hartati dinyatakan tidak dapat diterima. Ini bukan hanya kemenangan hukum, tapi tamparan telak untuk logika hukum yang selama ini sering dikorupsi oleh kekuasaan dan kepentingan.


Kemenangan ini bukan tanpa luka dan peluh. Hartati, rakyat kecil yang bahkan tak punya lahan sendiri, digugat hanya karena ia “menumpang hidup” di atas tanah milik orang lain. Arogansi penggugat terlihat terang-benderang ketika pemilik sah tanah tak dilibatkan dalam gugatan. Celakanya, niat tersembunyi sang penggugat mulai terkuak: berharap Hartati tak sanggup menyewa pengacara, absen di persidangan, lalu memenangkan perkara lewat putusan verstek. Strategi licik yang pada akhirnya mental di meja hijau.


Unggul Garfli, pengacara Hartati sekaligus jebolan Fakultas Hukum UGM, mengendus aroma manipulasi dalam perkara ini. Ia menyebut gugatan kabur secara hukum obscuur libel, salah pihak, dan kurang pihak. Lebih dari itu, ia menduga adanya tipu muslihat hukum yang memanipulasi prosedur demi menjebak orang kecil dalam jerat formalitas yang kering makna. Dalam terminologi Rocky Gerung: ini bukan sekadar kekeliruan logika hukum, tapi kebusukan moral dalam ruang peradilan.


Tak cukup sampai di sana, aroma busuk semakin menyengat ketika dalam proses persidangan, ditemukan indikasi kuat adanya pemalsuan surat sebagai dasar penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM) milik penggugat. Yang lebih fatal, dokumen asli SHM tak pernah bisa ditunjukkan di persidangan. Fakta ini sedang dibawa ke Polda Jambi, dan proses hukum berlapis disiapkan untuk menantang setiap kejanggalan yang telah coba diselundupkan ke ruang pengadilan.


Tak hanya Polda yang disasar, kemungkinan gugatan ke PTUN pun sedang dibuka. Sebab ini bukan sekadar soal tanah, tapi tentang bagaimana ruang hukum bisa menjadi lapangan bermain mafia yang berlagak sebagai pemilik kebenaran. Ketika aktor-aktor hukum mencoba mengakali realitas dengan dokumen palsu, maka yang rusak bukan hanya logika bernegara, tapi juga fondasi keadilan itu sendiri.


Dalam pesan penutupnya, Unggul Garfli mengingatkan bahwa membela kebenaran bukanlah pilihan, tapi kewajiban moral. Ia menegaskan bahwa perjuangan seperti ini adalah bagian dari pengabdian kepada rakyat kecil, sebuah nilai yang tertanam kuat dari kampus kerakyatan UGM. Di sinilah, seorang penjual es tebu mengajarkan kepada kita bahwa keadilan tidak mengenal kasta. Ketika sistem hukum bisa berpihak pada yang lemah, maka di sanalah republik ini masih punya harapan.

share this :