Jurnal1jambi.com,- JAMBI — Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang dirilis Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyingkap potret menarik di tubuh Dinas Pendidikan Kota Jambi. Sejumlah kepala sekolah negeri di kota ini tercatat menyampaikan laporan kekayaannya untuk periode 2024, dengan nilai yang bervariasi, mulai dari ratusan juta hingga lebih dari satu miliar rupiah. Data ini menimbulkan perbincangan publik tentang transparansi, integritas, dan makna kejujuran di ruang birokrasi pendidikan.
Salah satu laporan yang tercatat adalah milik Alfrin Hariadi, Kepala SMP Negeri 9 Kota Jambi, dengan total harta kekayaan sebesar Rp500 juta. Kekayaan tersebut berasal dari tanah dan bangunan seluas 300 meter persegi serta dua unit kendaraan pribadi. Angka ini terbilang moderat dibanding beberapa koleganya yang mencatatkan nominal hingga miliaran rupiah.
Laporan berbeda datang dari Eva Rianti, Kepala SMP Negeri 21 Kota Jambi, yang memiliki total kekayaan mencapai Rp1,875 miliar. Dalam laporan tertanggal 20 Januari 2025 itu, asetnya meliputi beberapa bidang tanah di Jambi, Kampar, dan Bungo, serta dua kendaraan bermotor. Di atas kertas, semua tercatat sebagai “hasil sendiri” sebuah istilah administratif yang kerap luput dari pengawasan publik namun sarat makna etis: seberapa transparan proses memperoleh kekayaan itu?
Sementara itu, Erdalena, Kepala SMP Negeri 22 Kota Jambi, melaporkan total kekayaan senilai Rp1,243 miliar, dengan dominasi aset berupa tanah, bangunan, serta kendaraan pribadi seperti Toyota Rush dan Honda Scoopy. Di sisi lain, Ihsan, Kepala SMP Negeri 5 Kota Jambi, mencatat total kekayaan Rp1,339 miliar, sebagian besar dalam bentuk properti dan kendaraan pribadi. Tak kalah mencolok, Zaidawati, Kepala SMP Negeri 1 Kota Jambi, melaporkan kekayaan senilai Rp1,271 miliar, terdiri atas beberapa bidang tanah di Jambi dan Muaro Jambi serta satu unit mobil Toyota Rush tahun 2007.
Dari data yang disampaikan, muncul dua wajah realitas birokrasi pendidikan kita: di satu sisi, mereka adalah aparatur negara yang patuh melaporkan kekayaan sesuai aturan; di sisi lain, laporan itu mengundang tanya bukan karena angka-angkanya mencurigakan, tetapi karena jarak sosial yang makin lebar antara para pejabat pendidikan dan realitas guru-guru honorer yang masih berjuang menutup kebutuhan dasar hidupnya. Transparansi seolah menjadi ritual administratif, bukan refleksi moral.
Dalam konteks etika publik, kejujuran bukan hanya soal memenuhi kewajiban administratif di hadapan KPK, tetapi juga menyangkut tanggung jawab moral terhadap masyarakat yang mempercayakan pendidikan generasi muda kepada mereka. Di titik ini, publik berhak bertanya: apakah keterbukaan ini merupakan wujud integritas, atau sekadar kewajiban formal demi citra “bersih” di atas kertas?
Lebih jauh, LHKPN seharusnya menjadi cermin bukan sekadar lembar angka. Transparansi tidak berhenti pada pelaporan, tetapi pada kesediaan pejabat publik untuk diuji secara etis dan sosial. Sebab, seperti kata filsuf, kejujuran sejati tidak butuh publikasi, tetapi pembuktian dalam perilaku sehari-hari.












