Jurnal1jambi.com,- Jambi, 27/10/2025 — Gelombang kritik terhadap aparat penegak hukum kembali menguat di Jambi. Aliansi Aktifis Jambi dengan tegas menilai penetapan dan penahanan terhadap Thawaf Aly, petani yang dituduh melanggar hukum, merupakan bentuk kriminalisasi terhadap rakyat kecil. Mereka menuding aparat kepolisian, khususnya di bawah Kasubdit III Jatanras Polda Jambi, telah mencederai prinsip due process of law dan memperlihatkan lemahnya integritas penegakan hukum.
Aliansi ini mengungkap sejumlah pelanggaran prosedural yang dinilai mencolok. Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) disebut cacat formil karena tidak mencantumkan nama Thawaf Aly, melainkan Hendra, diduga pelaku lain. Namun secara hukum, Thawaf Aly justru ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan SPDP tersebut. Situasi ini menegaskan adanya ketidaksesuaian antara dokumen hukum dan praktik penyidikan di lapangan.
Lebih jauh, penyidik juga dianggap melanggar prinsip pemeriksaan yang sah karena menjerat seseorang tanpa bukti kuat mengenai kepemilikan lahan dan locus kejadian. Sertifikat Hak Milik (SHM) yang digunakan sebagai dasar perkara dinilai tidak relevan dan tidak terkoordinasi dengan lokasi perkara. Bahkan, menurut Aliansi, SHM tersebut justru tumpang tindih dengan kawasan hutan, memperkeruh legalitas penyidikan.
“Ini bukan sekadar perkara hukum, tetapi cermin kegagalan negara melindungi petani dari arogansi kekuasaan,” tegas perwakilan Aliansi dalam rilis medianya. Mereka menyebut, tuduhan terhadap Thawaf Aly tidak memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 363 ayat (1) ke-4 jo Pasal 55 KUHP, sehingga penetapan dan penahanannya dianggap tidak sah secara hukum.
Aliansi Aktifis Jambi pun mendesak Kapolda Jambi, Irjen Pol Krisno Halomoan Siregar, agar segera mencopot Kasubdit III Jatanras yang dinilai tidak profesional dan melanggar prinsip penyidikan yang diatur dalam KUHAP serta Putusan Mahkamah Konstitusi. Selain itu, mereka menuntut evaluasi menyeluruh terhadap proses penyidikan dan pembebasan Thawaf Aly tanpa syarat.
Dalam pernyataan penutupnya, Aliansi menyerukan kepada masyarakat sipil, akademisi hukum, dan lembaga pengawas keadilan untuk turut mengawal proses hukum ini secara objektif dan transparan. Mereka menilai kasus Thawaf Aly menjadi simbol dari penyimpangan kewenangan (abuse of power) yang menindas hak-hak rakyat kecil.
“Keadilan,” tulis mereka dalam penutup rilisnya, “bukan untuk mereka yang berkuasa, tetapi untuk setiap warga negara yang mencari kebenaran.” Sebuah kalimat yang menggema seperti tamparan bagi nurani hukum negeri ini bahwa di atas tanah petani yang terinjak, seharusnya hukum tidak ikut bertekuk lutut di bawah kuasa. (Agnes)












