Jurnal1jambi.com,— JAKARTA – Ada pemandangan ganjil yang sedang kita saksikan bersama: seorang terpidana dengan vonis inkrah, bukan hanya tidak masuk penjara, tapi justru tampil di layar kaca dan menduduki kursi komisaris BUMN. Namanya Silfester Matutina. Ironisnya, ia muncul membela mantan Presiden ke-7, Joko Widodo. Pertanyaannya sederhana, tapi getir: di negeri ini, apakah hukum tunduk pada keadilan, atau pada kekuasaan?
Pengacara Ahmad Khozinudin, SH, dengan nada tegas dalam sebuah talkshow mengatakan, “Tidak dieksekusinya Silfester Matutina adalah bukti terkonfirmasi adanya ‘orang besar’.” Kata-kata ini menohok logika publik. Jika hukum adalah panglima, mengapa vonis tak dilaksanakan? Jika semua warga setara di depan hukum, mengapa ada yang bebas dari jeratan, hanya karena dekat dengan pusat kekuasaan?
Faktanya, putusan pengadilan itu jelas. Berdasarkan catatan Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Jakarta Selatan, Silfester terbukti memfitnah mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Ucapannya yang menuding JK menggunakan isu SARA demi kepentingan politik dan korupsi keluarga disampaikan di depan Mabes Polri, Mei 2017. Keluarga JK melapor, pengadilan memvonis, tapi negara gagal mengeksekusi. Di sinilah absurditas itu nyata: hukum menulis hitam di atas putih, tapi pelaksanaan justru lenyap di kabut kekuasaan.
Pengamat sosial-politik Imam Suwandi, S.Sos., M.I.Kom., menyebut peristiwa ini “aib dan penghinaan” bagi penegakan hukum. Baginya, ini bukan sekadar kelalaian prosedur, melainkan tamparan keras pada wajah keadilan. “Seorang yang seharusnya menjalani 1,5 tahun penjara malah bebas berkeliaran. Ini memalukan dan mengikis habis kepercayaan rakyat,” ujarnya. Pernyataan itu menegaskan: hukum yang tak dijalankan adalah hukum yang mati suri.
Jika kita menengok lebih dalam, persoalan ini bukan hanya tentang Silfester atau Jusuf Kalla. Ini tentang pesan yang dikirim negara pada rakyatnya: ada yang boleh dilindungi meski bersalah, dan ada yang harus dihukum meski sekadar berbeda pendapat. Inilah saat ketika hukum kehilangan makna, menjadi sekadar dekorasi dalam etalase demokrasi.
Imam, yang juga Pemimpin Redaksi sejumlah media siber dan Kepala Bidang Diklat & Litbang Sekber Wartawan Indonesia (SWI), menyerukan agar Presiden Prabowo Gibran mengambil sikap tegas. “Ini kesempatan terbaik untuk membuktikan bahwa hukum tidak tunduk pada kekuasaan. Jika yang dekat penguasa kebal hukum, apakah kita masih bisa berharap pada keadilan?” katanya. Di sinilah kepemimpinan diuji: bukan pada pidato, tapi pada keberanian melawan arus yang menguntungkan lingkar kekuasaan.
Kisah ini adalah cermin retak penegakan hukum kita. Dan seperti setiap cermin, ia memantulkan wajah asli pemiliknya. Jika wajah itu tampak memalukan, mungkin bukan cerminnya yang harus diganti, tapi pemiliknya yang harus berbenah. Karena negara yang kalah dengan penjahat, pada akhirnya, sedang mengajarkan rakyatnya untuk berhenti percaya pada hukum.