Oleh: Ketum Simpe Nasional Edi Sutiyo
Jurnal1jambi.com,—Bandung, di bawah kepemimpinan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, kini menjadi pusat sorotan politik nasional. Bukan semata karena gaya kepemimpinan KDM yang unik dan berbeda dari kebanyakan kepala daerah, melainkan karena setiap kebijakannya kerap menembus “ruang kebisuan” birokrasi. Mulai dari larangan studi tour, penertiban praktik penahanan ijazah di sekolah swasta, pengaturan dana hibah, hingga kebijakan terbarunya — Surat Keputusan Nomor 463 Tahun 2025 tentang Pencegahan Anak Putus Sekolah (PAPS) — semuanya memantik perdebatan publik.
Kebijakan PAPS bahkan berujung gugatan hukum. Forum Kepala Sekolah Swasta mendaftarkan perkara di PTUN Bandung (Nomor 121/G/2025/PTUN-BDG) pada 1 Agustus 2025. Tercatat delapan pihak menggugat, dengan Gubernur sebagai tergugat. Mereka menilai keputusan tersebut merugikan karena kuota penerimaan siswa baru hanya terisi sekitar 30 persen, setelah sebagian calon siswa yang sudah mendaftar mengundurkan diri.
Namun, secara prinsip, langkah KDM sejatinya sejalan dengan amanat konstitusi. Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, sedangkan Pasal 34 ayat (1) menyatakan fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Pendidikan adalah kebutuhan dasar setara dengan kesehatan dan layanan ekonomi. Dalam kebijakan PAPS, prioritas diberikan kepada anak-anak dari keluarga rentan miskin yang berpotensi putus sekolah. Inilah bentuk nyata negara hadir untuk rakyat.
Protes sekolah swasta patut dicermati. Apakah keberatan mereka murni soal hilangnya kesempatan mendapatkan siswa, atau justru refleksi dari minimnya kreativitas dan layanan pendidikan yang terjangkau dan berkualitas? Faktanya, banyak sekolah swasta dengan pelayanan prima tetap diminati, bahkan sudah menerima pendaftaran jauh sebelum seleksi penerimaan siswa baru dimulai.
Persoalan mendasar terletak pada standar pendirian yayasan pendidikan. Tidak sedikit sekolah swasta berdiri dengan fasilitas minim, berharap bertahan dari dana hibah pemerintah dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Alih-alih terus menyalurkan dana negara ke yayasan yang belum terbukti kapasitasnya, akan lebih tepat bila anggaran tersebut digunakan membangun sekolah negeri. Pemerintah juga bisa mendorong merger bagi sekolah swasta yang lemah agar lebih kuat secara kelembagaan dan layanan. Bahkan, opsi akuisisi sekolah swasta oleh pemerintah menjadi sekolah negeri bisa dipertimbangkan demi pemerataan akses pendidikan.
Langkah lain yang mendesak adalah audit investigasi menyeluruh terhadap dana yang disalurkan ke sekolah swasta melalui yayasan. Harus dipastikan bahwa dana itu benar-benar digunakan untuk kepentingan pendidikan, bukan untuk keuntungan pribadi pengelola. Jika ada pihak yang menjadikan sekolah sebagai ladang bisnis dengan orientasi profit, maka konsistensi hukum harus ditegakkan: ubah badan hukum menjadi perseroan terbatas (PT), bukan yayasan, karena secara prinsip yayasan tidak berorientasi mencari laba.
Kebijakan pendidikan harus kembali pada nilai dasar konstitusi: memberi kesempatan setara bagi setiap anak bangsa untuk mengenyam pendidikan. Keberpihakan pada yang lemah bukan sekadar pilihan moral, melainkan kewajiban negara. Gugatan boleh berjalan, perdebatan boleh mengemuka, tetapi arah kebijakan harus tetap berpijak pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.












