Jurnal1Jambi.com,- Jambi, 28/06/2025 – Dana rakyat kembali “bekerja”, namun kali ini bukan untuk membenahi pendidikan dasar atau layanan kesehatan yang compang-camping, melainkan untuk membangun Sentra Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jambi. Total suntikan dari APBD baik provinsi maupun kabupaten/kota mencapai angka fantastis: ratusan miliar rupiah. Ironisnya, proyek ini justru menyeret tanda tanya: pembangunan untuk siapa?
Pemprov Jambi sendiri menghibahkan tanah senilai Rp16 miliar, plus dana hibah APBD sebesar Rp300 juta untuk perencanaan teknis gedung, dan tambahan Rp4,7 miliar demi wujud fisik yang menjulang gagah. Belum lagi kontribusi dari sembilan kabupaten/kota yang patuh menyetor dana, mulai dari pembangunan asrama, masjid, klinik, hingga gedung administrasi. Semua serba megah. Semua terlihat serius. Tapi, siapa yang memverifikasi urgensinya?
Berikut rincian sumbangan “sukarela” yang diduga sarat tekanan politik dan kepentingan pencitraan: Kabupaten Tanjab Timur Rp5 miliar (asrama putri), Muaro Jambi Rp5,6 miliar (asrama putra), Tanjab Barat Rp3,4 miliar (gedung administrasi), Kerinci Rp1,9 miliar (gedung Kejati), Bungo dan Tebo masing-masing Rp1,4 miliar (konstruksi dan klinik), Sarolangun Rp2 miliar (masjid), Batanghari Rp6,5 miliar (administrasi), dan Pemkot Jambi Rp6,9 miliar untuk gedung STIH Kejati Jambi.

Menariknya, hanya Pemkot Sungai Penuh yang “abstain” dari urunan anggaran. Entah karena tak diajak, menolak secara sadar, atau memang tak mampu. Tapi di tengah gegap gempita daerah lain yang berlomba-lomba menyetor, keputusan ini justru patut diapresiasi jika memang didasari pertimbangan logis dan prioritas rakyat. Barangkali, Sungai Penuh sadar bahwa pembangunan tidak bisa dibajak oleh simbol.
Peresmian sentra Diklat Kejati Jambi sendiri telah dilakukan Jaksa Agung ST. Burhanuddin pada 17 Februari 2025. Tentu saja dengan panggung megah, foto-foto seremoni, dan tepuk tangan penuh bangga. Tapi seperti kata Rocky Gerung, “ketika akal sehat dicabut, yang tersisa hanyalah peristiwa tanpa makna.” Maka patut dipertanyakan, seberapa jauh urgensi proyek ini dibanding kebutuhan mendesak masyarakat?
Masyarakat berhak tahu: apakah proyek ini benar-benar dilandasi kebutuhan strategis dan transparansi, atau sekadar gimik lembaga yang ingin membangun citra lewat gedung-gedung raksasa? Jika rakyat terus membayar mahal untuk pembangunan yang tak menyentuh mereka langsung, lalu siapa sebenarnya yang sedang didiklat? Rakyat atau para elit yang makin lihai berdiplomasi di balik megafon kekuasaan?